Doktrin "Perang Terbatas" China di Laut China Selatan: Ambisi Tersembunyi di Balik Tabir Diplomasi
e-media.co.id – Laut China Selatan, wilayah perairan yang kaya akan sumber daya alam dan jalur pelayaran strategis, telah lama menjadi titik panas geopolitik. Di balik klaim teritorial yang tumpang tindih dan retorika diplomasi yang halus, tersimpan sebuah doktrin militer yang menjadi landasan strategi China di kawasan ini: "Perang Terbatas" (Limited War). Doktrin ini, yang sering kali disalahartikan sebagai pendekatan yang defensif dan terkendali, sebenarnya merupakan cetak biru untuk mencapai dominasi maritim China secara bertahap, tanpa memicu konflik berskala penuh yang dapat merugikan kepentingan nasionalnya.
Esensi Doktrin Perang Terbatas
Doktrin "Perang Terbatas" dalam konteks Laut China Selatan berakar pada pemikiran strategis China yang menekankan pada pencapaian tujuan politik melalui penggunaan kekuatan militer yang terkalkulasi dan terukur. Intinya adalah menghindari eskalasi konflik menjadi perang terbuka, sambil secara sistematis meningkatkan pengaruh dan kendali atas wilayah yang disengketakan.
Beberapa elemen kunci dari doktrin ini meliputi:
- Penggunaan Kekuatan di Bawah Ambang Batas Perang: China secara aktif menggunakan taktik "zona abu-abu" (gray zone tactics) yang berada di bawah ambang batas tindakan perang tradisional. Ini termasuk penggunaan kapal penjaga pantai, milisi maritim, dan aktivitas pembangunan pulau buatan untuk menegaskan klaim teritorialnya, tanpa secara langsung menyerang kekuatan militer negara lain.
- Peningkatan Kapabilitas Militer Secara Bertahap: China terus meningkatkan kemampuan militernya di Laut China Selatan, termasuk pembangunan pangkalan militer di pulau-pulau buatan, penempatan sistem rudal anti-kapal dan anti-udara, serta peningkatan kemampuan kapal selam dan angkatan lautnya. Peningkatan ini dilakukan secara bertahap untuk menghindari provokasi langsung, tetapi secara kumulatif mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut.
- Diplomasi Koersif: China menggunakan kekuatan ekonominya dan pengaruh diplomatiknya untuk menekan negara-negara tetangga agar tidak menentang klaim teritorialnya. Ini termasuk memberikan insentif ekonomi kepada negara-negara yang bersedia bekerja sama, serta memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada negara-negara yang menentang kepentingannya.
- Dominasi Informasi: China secara aktif menyebarkan narasi yang mendukung klaim teritorialnya di Laut China Selatan, sambil berusaha mendiskreditkan klaim negara lain. Ini dilakukan melalui media pemerintah, propaganda, dan kampanye disinformasi online.
Implementasi Doktrin di Laut China Selatan
Doktrin "Perang Terbatas" telah diimplementasikan secara sistematis oleh China di Laut China Selatan selama beberapa dekade terakhir. Beberapa contoh konkret dari implementasi doktrin ini meliputi:
- Pembangunan Pulau Buatan: China telah membangun serangkaian pulau buatan di Kepulauan Spratly dan Paracel, yang kemudian diubah menjadi pangkalan militer dengan landasan pacu, pelabuhan, dan sistem pertahanan udara. Pembangunan pulau-pulau ini memungkinkan China untuk memproyeksikan kekuatan militernya lebih jauh ke Laut China Selatan dan mengawasi aktivitas negara lain di kawasan tersebut.
- Aktivitas Milisi Maritim: China memiliki milisi maritim yang besar dan terlatih, yang beroperasi di Laut China Selatan dengan menyamar sebagai nelayan. Milisi ini digunakan untuk mengganggu aktivitas penangkapan ikan negara lain, mengintimidasi kapal survei energi, dan mendukung klaim teritorial China.
- Penegakan Hukum Maritim yang Agresif: Kapal penjaga pantai China secara agresif menegakkan klaim teritorial China di Laut China Selatan, termasuk dengan menghalangi kapal penangkap ikan dan kapal survei energi negara lain, serta melakukan penangkapan ilegal.
- Latihan Militer: China secara rutin melakukan latihan militer di Laut China Selatan, yang sering kali melibatkan penggunaan amunisi aktif dan simulasi serangan terhadap target maritim. Latihan-latihan ini berfungsi sebagai demonstrasi kekuatan dan pesan kepada negara-negara tetangga bahwa China siap untuk mempertahankan klaim teritorialnya dengan kekuatan militer.
Implikasi bagi Stabilitas Regional
Doktrin "Perang Terbatas" China memiliki implikasi yang signifikan bagi stabilitas regional di Laut China Selatan. Meskipun doktrin ini dirancang untuk menghindari konflik berskala penuh, taktik "zona abu-abu" dan peningkatan kapabilitas militer China secara bertahap meningkatkan risiko miskalkulasi dan eskalasi yang tidak disengaja.
Beberapa implikasi utama dari doktrin ini meliputi:
- Erosi Hukum Internasional: Klaim teritorial China yang luas dan penolakan terhadap putusan Pengadilan Arbitrase Permanen tahun 2016 telah mengikis hukum internasional dan norma-norma maritim di Laut China Selatan.
- Peningkatan Ketegangan Regional: Aktivitas militer dan penegakan hukum maritim China yang agresif telah meningkatkan ketegangan dengan negara-negara tetangga, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
- Persaingan Kekuatan Besar: Laut China Selatan menjadi arena persaingan antara China dan Amerika Serikat, yang mendukung kebebasan navigasi dan menentang klaim teritorial China yang berlebihan.
- Risiko Konflik: Meskipun China berusaha menghindari konflik berskala penuh, risiko miskalkulasi dan eskalasi yang tidak disengaja tetap ada, terutama mengingat kompleksitas dan sensitivitas isu-isu yang terlibat.
Respons Internasional
Doktrin "Perang Terbatas" China telah mendapatkan respons yang beragam dari komunitas internasional. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, telah secara terbuka mengkritik klaim teritorial China yang berlebihan dan aktivitas militernya di Laut China Selatan. Negara-negara ini telah melakukan patroli kebebasan navigasi (FONOP) di kawasan tersebut untuk menantang klaim maritim China dan menegaskan hak-hak mereka berdasarkan hukum internasional.
Negara-negara lain, terutama negara-negara ASEAN, telah mengambil pendekatan yang lebih hati-hati, berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan mereka dalam menjaga hubungan ekonomi yang baik dengan China dengan kebutuhan untuk melindungi kedaulatan mereka. Negara-negara ini telah menyerukan penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan hukum internasional dan telah terlibat dalam negosiasi dengan China mengenai Kode Etik (Code of Conduct) di Laut China Selatan.
Kesimpulan
Doktrin "Perang Terbatas" China di Laut China Selatan merupakan strategi yang kompleks dan multifaset yang bertujuan untuk mencapai dominasi maritim secara bertahap, tanpa memicu konflik berskala penuh. Doktrin ini melibatkan penggunaan taktik "zona abu-abu", peningkatan kapabilitas militer secara bertahap, diplomasi koersif, dan dominasi informasi.
Meskipun doktrin ini dirancang untuk menghindari eskalasi konflik, implementasinya telah meningkatkan ketegangan regional dan mengikis hukum internasional. Respons internasional terhadap doktrin ini bervariasi, dengan beberapa negara secara terbuka mengkritik tindakan China dan negara-negara lain mengambil pendekatan yang lebih hati-hati.
Masa depan Laut China Selatan akan sangat bergantung pada bagaimana China mengelola doktrin "Perang Terbatas" dan bagaimana komunitas internasional meresponsnya. Jika China terus mengejar ambisi maritimnya secara agresif, risiko konflik dan instabilitas regional akan tetap tinggi. Namun, jika China bersedia untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif dan menghormati hukum internasional, ada peluang untuk mencapai resolusi damai atas sengketa di Laut China Selatan.